Jumat, 30 Desember 2011

Pengakuan Tersangka (cerpen 2)



Aku tersangka, itulah kenyataan yang aku alami sekarang. Tak mengerti dengan semua hal yang selama ini aku lakukan, dan sekarang faktanya, aku terpuruk di dasar jurang yang tak bertepi, sendiri bagai molekul air di tengah gurun yang pasti nantinya akan hilang menguap karena tak sanggup bertahan. Niatnya ingin memperlancar usaha temenku  yang penakut, ia takut untuk mengungkapkan perasaannya, tak berdaya, bisu, bodoh bagai keledai idiot yang sangat menyebalkan. Temenku yang bernama Fandi ini mengagumi seorang wanita yang mungkin aku tebak  telah bisa memenuhi seluruh ruang didalam hatinya hingga membuat hatinya megeras sekeras – kerasnya. Tak dapatku pungkiri wanita yang bernama Mufirah itu adalah seorang wanita berkelas dunia, parasnya lucu bagai marmut imut imut, pendiriannya teguh, dan ia selalu tegar dalam mengahadapi segala masalah, ketegarannya mungkin hanya dapat disaingi oleh liberty, seorang gadis kaku di Amerika sana, yang akan tetap berdiri baik siang maupun malam, tak takut kedinginan ataupun basah karena hujan dan tak pula gentar menerjang badai dan berani menantang sambaran petir. Semua hal itulah yang mungkin membuatku-pun jatuh hati padanya.




----------●----------
            Aku seorang mahasiswa jurusan teknik kedokteran Universitas Gorilla Miring, emang ada ya? Itulah cita – citaku sewaktu SMA. Ya waktu itu, saat kami sedang belajar  tentang listrik. Guruku memulai pelajarannya dengan memberikan contoh – contoh  alat yang bisa kami buat dengan menggunakan konsep – konsep dalam pelajaran ini, aku sangat tertarik dengan alat – alat keren nan canggih yang ia ceritakan. Waktu terus berlalu, akhirnya waktu pulangpun tiba dan dipenghujung pelajarannya ia mencoba menyisipkan sebuah nasihat, begini nasihatnya “jika kalian ingin menjadi dokter, jadilah dokter yang menguasai ilmu fisika, karena banyak kecanggihan - kecanggihan yang akan kalian temukan jika kalian menyinergikan ilmu biologi dan fisika” begitulah nasehat guruku yang memang memiliki istri seorang guru biologi. Setelah lulus dari SMA itu, akupun mencari universitas yang membuka jurusan teknik kedokteran. Akhirnya sampailah aku di sekolah ini, sekolah dikaki Gunung Merapi di daerah Cangkringan. Sekolah yang baru berdiri 15 tahun silam, memakai tanah bekas letusan Gunung Merapi, sekolah ini dibangun setelah Gunung Merapi dinyatakan  nonaktif.
           
Aku merasa sangat bangga ketika aku diterima di universitas ini. Betapa hebatnya sekolah ini, buktinya dapat dilihat dari jumlah pendaftar untuk mengikuti tes masuk universitas ini, tidak tanggung – tanggung dijurusan teknik kedokteran saja, ada sekitar 20.000.000 siswa dalam negeri dan luar negeri yang berjuang untuk memperebutkan 500.000 kursi, alhamdulillah aku mendapat peringkat 489.999. Sudah dua tahun aku berada di universitas ini. Disini, aku memiliki banyak teman dari berbagai macam daerah, berbagai macam orang ada di universitas ini, dari sabang sampai sabang lagi mengelilingi bumi.
            Sejak awal masuk sampai sekarang, aku memiliki seorang teman akrab, sebut saja namanya Fandi, ia berasal dari Jawa Barat. Dia adalah seorang yang lucu, cerdas, dan juga rajin dalam beribadah. Setauku, ia adalah seorang lulusan pondok pesantren di daerah Serpong yang sangatlah populer, yaitu Pondok Pesantren Insan Menengah atau biasa disebut Pondok PIM.
----------●----------
Malam itu, seorang guru datang masuk ke dalam kerumunan kami yang memang sudah bosen menunggunya sejak setengah jam lalu. Memang sudah menjadi rutinitas kami berkumpul dengannya setelah menyelesaikan rutinitas kami dihari sabtu. Selama dua tahun sudah kami menghabiskan malam minggu ini dengan mendengar dirinya berbicara, mengajarkan tauhid, ajaran – ajaran agama, serta pembahasan kitab – kitab yang bewarna kuning itu loh. Mungkin inilah salah satu ikhtiar kami yang tergabung dalam ROHIS Universitas Gorilla Miring untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Disaat para pemuda lain diluar sana sedang menikmati malam minggunya dengan gila, kami disini berusaha menghindari hal – hal itu dengan mengadakan kegiatan ini. Lumayaanlah pengikut kami mulai miningkat dari hanya aku berdua dengan Fandi yang menggagas sampai akhirnya disini kami ber dua puluh, diforum inilah Fandi temanku bertemu dengan seorang wanita yang lebih muda satu tahun dari kami yang bernama Mufirah.





Dua jam kemudian, ketika mata kami mulai memberat dan meredup akibat lelah sehabis aktifitas kuliah tadi, serta didukung juga oleh suara Pak Ustadz yang mulai mendayu -  dayu bagaikan suara ibu ketika membacakan dongen sebelum tidur kepadaku. Sampailah diujung nasihatnya, ia berkata “menjadi diri sendiri lebih berharga daripada menjadi diri orang lain. Jadi, jangan pernah kalian  membohongi diri kalian sendiri. Percayalah kepada Allah dan yakinlah bahwa semuanya bisa dilewati”. Kata – kata itupun yang mengantar aku dan Fandi kembali ke rumah kontrakan kami.
----------●----------
Mataharipun menampakan dirinya di ufuk sana, dinginnya udara pegunungan meraba tubuhku hingga membuat bulu kudukku merinding, embun pagi yang tercipta merasuki tubuhku membuat tubuhku kaku tak berdaya menghadapi pagi itu. Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiinggggggggggg, ku matikan jam itu, tapi apa daya aku masih tak berdaya melawan serangan alam yang bertubi – tubi ini kepadaku. Tok Tok Tok Tok Tok, “woy bro bangun, shalat shubuh sudah jam berapa nih” teriak Fandi sambil menggedor – gedor pintu dengan keras, suara gedorannya mungkin menyebabkan tetangga sebelahpun terbangun. Tapi, energi pertemanan itulah yang akhirnya membangunkan diriku dari pelukan kasur yang sangatlah lembut, akupun terbangun membuka pintu, lalu mengambil wudlu. Setelah shalatku selesai kami bersiap – siap untuk berangkat kuliah. Namanya juga anak kuliah, tiada hari tanpa kekampus. Minggu pagi ini aku mulai dengan semangat, agenda hari ini adalah pendalaman materi serta persiapan menghadapi UAS bulan depan. Sebelum tiba di kampus, aku dan Fandi berhenti sejenak di tukang bubur langganan kami untuk sarapan menyuap perut ini agar diam.
Terjadilah percakapan singkat antara aku dan Fandi di tukang bubur itu,
Aku     : Gimana lo sama si Mufirah Fan?
Fandi   : Mau gimana lagi bro, aku kan cupu.
Aku     : Fan Fan, sabar ya. Denger – denger kamu lagi berantem ya?
Fandi   : Iya nih, gara – gara kemarin aku ngejek dia. Aku harus gimana ya?
Aku     : Hahaha, Emang kamu ngejek dia apaan? Sampai marah gitu. Minta maaflah Fan.

Fandi   : Aku bilang kalau dia gendut, padahalkan aku jujur. Jadi aku harus minta maaf?
Aku     : Pantes aja, wanita tuh paling sensitif kalau masalah berat badan. Mau gimana lagi?
Fandi   : Mana aku tau. Aku bingung ngucapinnya.
Aku     : Laki – laki itu harus gentle Fan, wanita pasti bakal nilai dari segala aspek.
Fandi   : Iya deh aku coba minta maaf.
            Jam tanganpun menunjukkan pukul 10.00, kamipun menuju kampus dengan segera. Sesampainya di kampus ternyata aku dan Mufirah berada dikelas yang sama, takku sangka bangkunya tepat bersebelahan denganku, terlihat jelas dari bangkuku parasnya yang lembut nan elok, di balut kerudung hitam yang membuatnya tampak lebih berseri bagaikan dewi yang sangat indah dan enak dipandang, Tak pernahku memandanginya sejelas ini, perasaan yang telah lama ku timbun kepadanyapun mecuat, lonjakannya bagaikan kembang api yang baru keluar dari selongsongnya.  
            Aku berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan perasaan ini namun apa daya keindahan dan pesonanya tak sanggup tuk kukalahkan, terbesit di dalam otakku bagaimana perasaan Fandi kalau dia sampai tau perasaanku kepada Mufirah ini, Aku tak ingin menyakiti dia. Tapi apa dayaku, pada saat ini nampaknya Mufirah memberikan perhatian yang lebih kepadaku. Aku yang tadinya pendiam, sekarang terajak untuk menikmati perbincangan dengannya. Hari ini aku merasakan hal yang berbeda dari biasanya. Tak terasa jam pelajaranpun usai sudah. Ketikaku mencoba beranjak dari kursiku, rasanya diri ini bertambah berat sangatlah berat, ingin rasanya tetap berada di kursi bersebelahan dengan Mufirah, sungguh aku tak mau menyudahi momen yang jarang terjadi ini. “Boleh minta nomer telepon kamu g? Aku mau nanya banyak nih soal pelajaran tadi” ucap Mufirah kepadaku. “Boleh kok boleh, catat ya, 0856739348” jawabku. Setelah memberikan nomer teleponku, aku dan diapun berpisah pulang kerumah masing – masing.
           




Sesampainya di kontrakan, aku menceritakan semua hal yang telah terjadi kepada Fandi yang memang telah sampai di kontrakan terlebih dahulu, aku tidak mau hal ini membuat kami berselisih. “Fan, tadi aku sekelas sama Mufirah loh, tumben – tumbenan tuh, tapi tenang aku sudah berusaha menceritakan kamu kok Fan” ucapku dengan tersenyum kepada Fandi. “Ooh, bagus dong” jawab Fandi dengan agak pelan dengan muka agak cemburu. Fandi memang orang yang sanyat pencemburu, ia adalah lelaki yang memiliki rasa memiliki yang sangat tinggi. Awal niatku, aku berbicara dengan Mufirah hanya untuk mencairkan pertemanan dia dengan Fandi, tapi perasaanku yang bodoh ini berkata lain, aku dihadapkan dengan rasa yang tak bisa ku redam kepada dirinya. “Fan, mending sekarang lo coba minta maaf ke dia deh, nih nomernya Mufirah” suruhku ke Fandi. “kok kamu bisa dapet nomer dia, darimana?” tanya Fandi. “Udah ga usah kamu tanya – tanya lagi, cepet sms aja” suruhku. Akhirnya dia meminta maaf kepada Mufirah melalui sms. Sejak saat itu, aku mencoba untuk menjauhi Mufirah. Sejak saat itupun Fandi terlihat lebih dekat dengan Mufirah. Aku bersyukur, aku masih bisa tersenyum kepada Fandi walau rasa hati ini sangatlah pedih.
            Malam ini hujan turun, melukiskan keadaan di dasar hatiku yang sedang pilu. Di tengah gelapnya malam ini, aku tetap merasa kesepian, bunyi rintikan hujanpun tak mampu menghibur atau bahkan menemani kesepian ini. Aku tak menyangka beginilah pengorbanan, tapi ku merasa hariku masihlah panjang, aku berusaha bangkit dari keterpurukan. Aku menutup minggu yang panjang ini dengan tertidur lelap, berusaha melupakan dirinya, bayangnya, dan semuanya dari hatiku yang terluka ini.   
-END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar